~ Kritis ~ Kreatif ~ Komunikatif ~

KOMFAS dan Potret Masa Lalu dalam Tradisi Masa Kini: Sebuah Catatan Reflektif

Apa itu Komfas?

13-14 Juli 2022 adalah kunjungan pertama saya ke UIN Mataram. Di kampus ini saya mendengar sebutan Komfas untuk pertama kalinya.  Komfas itu bentuk akronim dari Komunitas Belajar Tafsir al-Qur’an dan Hadis. Sebuah komunitas yang eksis di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Mataran, Nusa Tenggara Barat. Hampir tidak ada yang spesial dari komunitas ini. Sekilas, begitu.

Di sana ada program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQT), jadi, maklum kalau ada komunitas yang searah. Yakni sama-sama berkorelasi dengan dengan al-Qur’an. Palingan, anggotanya itu-itu saja. Mereka hanya terikat oleh kepentingan dan minat yang sama. Kira-kira begitu yang saya pikirkan pada mulanya.

Tapi, ternyata saya terjebak dalam cara berpikir yang simplistik. Terlalu menyederhanakan sebuah fenomena. Faktanya, komunitas ini tak cukup selesai digambarkan hanya sebagai sebuah komunitas seperti pada umumnya. Ada nilai, budaya, dan karakteristik lain yang sangat khas dan unik. Yang tak bisa didapatkan di tempat yang berbeda.

Singkat Cerita...

Saya berkesempatan menyaksikan langsung salah satu kegiatan utama komunitas ini. Yakni belajar takhrij hadis. Sebuah keilmuan dan aktivitas khusus yang harus dikuasai oleh pemerhati ilmu hadis. Keilmuan dan aktivitas ini penting guna memastikan apakah sebuah hadis dapat diterima atau harus ditolak. Tentu saja, prosesnya tak sesederhana itu. Ada proses-proses panjang, menelusuran mendalam, dan sebagainya, untuk kemudian bisa sampai pada simpulan akhir.

Sebenarnya, aktivitas takhrij sudah dilakukan oleh ulama hadis di masa lalu, dilanjutkan oleh generasi berikutnya, dan kita pun turut mengenalnya hingga hari ini. Bagi sebagian orang, takhrij kita mungkin sudah tak penting lagi. Kan, sudah dilakukan oleh ulama di masa lalu. Sederhananya, bila ulama di masa lalu sudah melakukan, kenapa kita harus mengulang-ngulang? Benar. Pada dasarnya, kita tak ada apa-apanya dibandingkan para ulama itu. Tapi, dalam konteks ini, ada nilai luhur dari kegiatan takhrij mereka. Mereka tidak hanya melakukan hal yang sia-sia seperti anggapan orang-orang di luar sana.

Saat itu, saya menyaksikan bagaimana salah satu peserta diberi berbagai pertanyaan oleh tiga orang yang duduknya di bagian depan. Tiga orang ini bertindak layaknya penguji tugas akhir. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan tampak sangat kritis, berbobot, dan tidak sekadar formalitas. Sampai saya berpikir, andai saya berada di posisi peserta yang sedang presentasi, tak ada jaminan saya bisa menjawab dengan baik. Tapi dia bisa mengutarakan banyak hal secara argumentatif. Pun demikian, andai saya berada di posisi tiga ‘penguji’, tak mesti bisa memberikan pertanyaan se keren mereka!

Hari Gini Masih Belajar Takhrij?

Singkat cerita, di tengah rasa heran, Ustaz Fitrah Sugiarto, selaku pembina Komfas menjelaskan, “Mereka adalah anggota komunitas ini. Takhrij hadis menjadi salah satu kerja utama di sini. Tiga orang yang di depan bertindak sebagai penguji; yang presentasi berada di posisi sedang diuji.” Penjelasan singkat yang memukau.

Flyer kegiatan Takhrij Komfas.

Jadi, ini sejenis ujian kualifikasi. ‘Para penguji’ sebagian besar adalah para senior Komfas. Anggota komunitas yang biasanya sudah lulus dari Sarjana Satu dan tengah menempuh jenjang berikutnya. Jelas, ini menjadi bentuk regenerasi. Bagaimana pun, ‘yang diuji’ kelak bisa diakui kualifikatif bila hasil kajian takhrijnya dinilai baik. Sebagai ‘ujian kualifiasi,’ cara ini ditempuh untuk memastikan bahwa dia pun mampu menjadi ‘penguji’. Kelak.

Karena penasaran, saya pun memberanikan diri bertanya, “Proses takhrijnya dilakukan secara manual?” Mereka menjawab, “Iya. Dan, dengan begitu kita sedikit mampu mendapatkan gambaran tentang bagaimana ulama masa lalu begitu berjuang.” Dalam menjelaskan perjuangan ulama di masa lalu, mereka menyebut istilah “feel” atau “rasa.” Istilah yang digunakan secara konsisten untuk menunjukkan bagaimana mereka menghayati proses tersebut. Jadi, tidak dalam posisi ingin merepotkan diri. Alih-alih buang-buang waktu.

Kajian Hadis Tematik dalam Sejarah


Realitas sosial kehidupan Nabi tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik persoalan politik, keagamaan, kebudayaan maupun yang lainnya. Masing-masing persoalan ini memuat tema-tema umum; masing-masing tema, memuat tema spesifik. Dalam konteks keagamaan, misalnya, beberapa sabda Nabi, tegas mengandung pesan-pesan yang terdiri dari berbagai tema.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model berpikir dan menjelaskan secara tematis pada dasarnya merupakan keniscayaan dan sudah dipraktikkan secara khusus oleh Nabi sejak masa awal Islam.

Hadis Tematik pada Masa Sahabat

Pada masa sahabat, beberapa literatur-literatur kenamaan secara tegas mengisahkan beberapa nama yang sudah memeraktikkan konsep hadis tematik, terutama yang berbentuk bukti tertulis mereka, seperti surat resmi yang dikirim pada orang lain atau catatan pribadi.

Abū Bakr al-Ṡaqafī juga dikisahkan memiliki pengalaman yang sama; dia mengirimkan pesan khusus pada anaknya yang sedang bertugas sebagai kadi di Sijistan. Isi pesannya berupa hadis-hadis Nabi yang terkait dengan urusan pengadilan (al-qaḍā’). Kisah lainnya berkenaan dengan ‘Abd Allāh ibn Mas‘ūd; dikisahkan bahwa beliau memiliki sebuah catatan yang berisi bacaan tasyahhud dan istikhārah.

Al-Zuhrī juga mengisahkan bahwa Zaid ibn Ṡābit, sekretaris pribadi Nabi juga memiliki catatan tentang faraid. Dia berkata, “Andai Zaid ibn Ṡābit tidak menulis tentang ketentuan faraid, ilmu itu akan segera punah dari manusia.” Selain beberapa nama tersebut, terdapat nama ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb, ‘Alī ibn Abī Ṭālib, ‘Abd Allāh ibn ‘Abbās, ‘Amr ibn Ḥazm al-Anṣārī, ‘Abd Allāh ibn ‘Amr, Abū Rāfi‘-pelayan Nabi-, Mu‘aż ibn Jabal dan lain-lain yang disebut memiliki catatan tematik terkait hadis, baik yang ditulis sendiri maupun yang didapatkan dari atasannya.

Hadis Tematik Pasca Masa Sahabat dan Tabiin

Pasca masa Sahabat, hadis tematik mengalami perkembangan yang signifikan. Jika pada masa para sahabat keberadaan hadis tematik sangat sederhana dan terbatas, maka pada masa generasi murid mereka, para tabiin, hadis tematik mulai tampak lebih sistematis, luas dan dapat dikonsumsi publik. Tema-temanya pun mulai beragam, seperti tafsir, fikih dan sejarah.

Pada generasi pasca tabiin hingga tahun 200 H, hadis tematik mengalami perkembangan yang relatif signifikan. Sebelumnya, penulisan hadis tematik secara umum fokus pada satu tema spesifik atau beberapa tema saja dalam tema besar tafsir, fikih dan sejarah. Pada masa pasca tabiin ini, tema-tema besar tersebut memuat tema-tema spesifik yang semakin beragam.

Kalau pun kumpulan hadis yang mereka miliki terkait tema spesifik, namun mulai lebih luas dan memuat banyak hadis. Pada masa ini pula mulai dikenal sebuah karya yang disebut sebagai muṣannaf, muwaṭṭa’ dan jāmi‘. Istilah-istilah ini biasanya merujuk pada model pengumpulan hadis yang lebih sistematis, memuat berbagai tema dan bab serta karakteristik-karakterisitik lainnya.

‘Abd al-Makīn ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn Juraij (w. 150 H) memiliki sebuah karya dalam bidang hadis, di antaranya al-Sunan yang memuat berbagai hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fikih. Sa‘īd ibn ‘Arūbah (w. 155 H) menulis beberapa karya, di antaranya Tafsīr al-Qur’ān, al-Sunan, al-Manāsik, al-Nikāḥ, al-Ṭalāq dan lain-lain. Sosok ini pula yang disebut sebagai orang pertama yang menulis karya berdasarkan bab-bab di Basrah.

Sufyān al-Ṡaurī al-Kūfī (w. 161 H) menulis beberapa karya, antara lain: al-Jāmi‘ al-Kabīr, al-Jāmi‘ al-Kabīr, al-Farā’iḍ, al-Tafsīr. Selain itu, terdapat nama terkenal lainnya, yaitu Muḥammad ibn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Żi’bin (w. 158 H) yang menulis al-Sunan; di dalamnya memuat berbagai hadis dalam bidang fikih seperti salat, zakat, puasa dan manasik.

Di generasi yang sama terdapat nama Muḥammad ibn Isḥāq ibn Yasār (w. 151 H) yang disebut-sebut memiliki banyak hafalan hadis dan karya besar dalam bidang sejarah dan dikenal luas dengan sebutan Sīrah Ibn Isḥāq. ‘Abd Allāh ibn al-Mubārak (w. 181 H) menulis Kitāb al-Zuhd, Kitāb al-Jihād, Kitāb al-Birr dan Kitāb al-Ṣilah; Ma‘mar ibn Rasyīd al-Ṣan‘ānī (w. 153 H) menulis banyak karya dalam bidang hadis, sejarah peperangan Nabi dan lain-lain. Mālik Ibn Anas al-Aṣbāḥī (w. 179 H) menulis al-Muwaṭṭa’; Sufyān ibn ‘Uyainah menulis al-Jāmi‘ serta Kitāb lain dalam bidang tafsir.

Selain nama-nama tersebut, terdapat nama lainnya. Namun, secara umum, atensi mereka terhadap hadis tematik terlihat sangat besar. Kary-karya yang mereka tulis, sebagian berupa hadis tematik khusus yakni fokus pada satu tema-satu kitab; sebagian yang lain memuat berbagai tema-satu kitab.

Meskipun, sebagian besarnya tidak hanya berisi hadis Nabi, melainkan juga fatwa sahabat dan tabiin. Model-model penulisan hadis tematik pada masa ini menginspirasi lahirnya berbagai inovasi dari generasi berikutnya. Sekaligus menjadi cikal bakal rumusan sederhana keilmuan dasar hadis tematik yang akan digagas dengan baik oleh generasi yang hidup pada 200 H hingga 450 H. Dengan kata lain, 1-200 H merupakan akar inspirasi dan awal kemunculan hadis tematik.

Hadis Tematik pada Generasi pasca 1-200 H?

Pertanyaannya kemudian, bagaimana hadis tematik pada generasi pasca 1-200 H? Dalam hal ini, hadis tematik setidaknya dapat dipetakan ke dalam empat babakan sejarah. Pertama, tahun 200-450 H. Masa ini bisa disebut masa inovasi dan perkembangan.

Pada masa ini, hadis tematik mengalami fase inovasi perkembangan yang pesat. Tema-tema yang muncul tidak lagi terbatas pada tema besar tafsir, fikih dan sejarah. Masing-masing tema besar ini melahirkan tema spesifik dan memuat tema-tema pentingnya lainnya. Tema-tema spesifik pada masa ini di antaranya masuk ke dalam tema akidah, ibadah, pendidikan, akhlak, fitnah dan sebagainya.

Kecenderuangan lain dalam konteks hadis tematik pada masa ini adalah merebaknya tema tentang keuatamaan-keutamaan (al-faḍā’il), anjuran-anjuran dan larangan atau yang biasa dikenal dengan istilah al-targīb wa al-tarhīb.

Kedua, tahun 450-660 H yakni masa stagnasi. Pada masa ini, hadis temaik lebih cenderung bersifat repetitif terkait tema, yakni tanpa inovatif yang berarti. Selain  itu, aktivitas kajian hadis tematik pada masa ini juga sebagian besar hanya berupa peniruan, berupa himpunan dari berbagai tema sebelumnya, atau sekedar ringkasan dari karya yang pernah ada, seperti kumpulan hadis tema penyembuhan ala Nabi, hukum Islam, keutamaan-keutamaan, anjuran dan larangan, pendidikan, huru-hara atau fitnah dan sebagainya.

Ketiga, tahun 660-1100 H yakni masa kebangkitan. Pada masa ini, karya besar dalam bidang hadis kembali menggelora. Banyak karya penting yang ditulis para pakar masa itu, baik dalam tema yang sama namun dengan judul yang berbeda atau terkait tema memang berbeda-beda, seperti tema hukum Islam (aḥādīṡ al-aḥkām), doa dan zikir (al-ad‘iyah wa al-ażkār), keutamaan-keutamaan (al-faḍā’il), anjuran dan larangan dalam Islam (al-targīb wa al-tarhīb), tanda-tanda kiamat (asyrāṭ al-sā‘ah), penyembuhan ala Nabi (al-Ṭibb al-nabawī) dan sebagainya.

Karya yang ditulis pada masa tersebut juga terdiri dari beragam tema. Selain itu, tokoh-tokohnya pun dikenal relatif sangat produktif. Satu tokoh bisa melahirkan karya dalam berbagai tema hadis, di antara tokoh terkenal produktif pada masa ini adalah Ibn Taimiyah (w. 728 H), Ibn Kaṡīr (w. 774 H), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) dan al-Suyūṭī (w. 911 H).

Keempat, tahun 1100-1400 H. Pada masa ini, kajian hadis tematik mengalami kemunduran. Meskipun, di saat yang sama, mulai muncul perumusan kongkrit keilmuan hadis tematik. Pada masa ini, para pakar hadis tematik tidak sebanyak pada masa sebelumnya. Karya-karya yang dilahirkan pun tidak bisa disejajarkan dengan karya pakar yang hidup antar660-110 H. Terutama mereka yang berada di bawah pemerintahan dinasti Mamluk seperti Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) dan al-Suyūti} (w. 911 H) yang sudah berhasil menulis karya dalam berbagai tema dan beragam judul.

Masa 1100-1400 H ini bisa dikatakan merupakan masa kemunduran hadis tematik. Kemunduran dalam pengertian tidak hanya mengalami stagnasi namun sama sekali secara umum tidak ada perkembangan yang signifikan jika dibandingkan masa sebelumnya.

Masa Kemunduran Kajian Hadis Tematik?

Masa kemunduran yang dimaksudkan pada poin ini adalah jika diukur dengan tingkat produktivitas. Beberapa nama seperti al-Dihlawī (w. 1179 H), Abū al-Ḥasan al-Kabīr (w. 1138 H), Muḥammad Ḥayāh al-Sindī (w. 1163 H), Ismā‘īl al-‘Ajlūnī (w. 1162 H), Muḥammad ibn Aḥmad al-Safārīnī (w. 1188 H), Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Ṣan‘ānī (w. 1142 H), Muḥammad Sa‘īd al-Sunbul dan ‘Abd al-Ganī al-Nablūsī (w. 1143 H) disebut sebagai tokoh-tokoh terkenal yang mengambil bagian untuk tetap menjaga tradisi penulisan hadis dalam berbagai tema.

Tema-tema hadis yang muncul pada masa ini tidak jaub berbeda dengan tema-tema masa sebelumnya, yakni keutamaan (faḍā‘il), anjuran dan larangan dalam agama (al-targīb wa al-tarhīb); huru-hara (fitan) serta tema-tema fikih dan akidah.

Namun demikian, di tengah kemunduran kajian hadis secara tematik, faktanya pada masa moderan-kontemporer, utamanya, dijumpai banyak rumusan metodologis-teoretis tentang kajian hadis tematik. Tentu saja, hal ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan universitas-universitas, ruang-ruang diskusi ilmiah, dan lain-lainnya. Beberapa hal ini pada gilirannya memaksa pada pengkaji hadis tematik untuk turut menyesuaikan kajian yang diproduksinya ‘tampak lebih’ ilmiah-akademis yang ditopang dengan tawaran metodologis-teoretis.

Selengkapnya lihat buku Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, terbitan Maknawi Press, 2021.

Bagaimana Memahami Hadis Nabi Melalui Kajian Hadis Tematik?


Dilihat dari proses transmisinya, hadis Nabi secara umum diriwayatkan secara perorangan. Dalam sejarah Islam ditemukan data adanya upaya pemalsuan yang dilakukan oleh sebagian oknum dengan ragam kepentingan, seperti mencari popularitas, keuntungan finansial, mendukung mazhab dan sebagainya. Fakta ini berbeda dengan al-Qur’an yang eksis dengan proses transmisi yang mutawatir sehingga tidak membuka ruang adanya pemalsuan meskipun dari aspek penafsiran tidak menutup kemungkinan adanya kepentingan.

Selain itu, keberadaan sebagian besar hadis Nabi yang diriwayatkan secara makna dan berimplikasi pada munculnya ragam redaksi meskipun dalam tema yang sama. Dalam konteks tertenu bahkan dijumpai hadis dalam tema yang sama terkesan saling kontradiktif. Selain itu, mengingat hadis merupakan bagian dari sejarah dan lekat dengan aspek sosial-humaniora, varifikasi kebenarannya tidak bisa disamakan dengan keimuan-keilmuan yang bersifat pasti.

Memahami Hadis Nabi: Bagaimana Memulainya?

Perbagai persoalan di atas, disadari dengan baik oleh para pakar di masa lalu. Hadis Nabi yang memuat dua aspek utama: sanad dan matan mendapatkan perhatian lebih dari mereka. Bukti konkrit dari perhatian tersebut, lahir ragam keilmuan hadis, seperti ilmu takhrīj, ilmu al-jarḥu wa al-ta‘dīl, dan lain-lain yang biasanya digunakan untuk mengkaji aspek sanad; ilmu al-nāsīkh wa al-mansūkh, ilmu mukhtalif al-ḥadīṡ, dan sebagainya yang biasa digunakan untuk mengkaji matan hadis.

Berbagai keilmuan tersebut pada gilirannya menjadi kaidah-kaidah khusus yang harus diperhatikan dalam keseluruhan proses kajian hadis, tanpa terkecuali kajian hadis tematik. Kaidah-kaidah tersebut antara lain berkaitan dengan kandungan dan validitas hadis; berkorelasi dengan aspek kebahasaan serta kaidah yang berkorelasi dengan konteks kemunculan hadis di masa lalu; dan lain-lain.

Kaitannya dengan pemahaman terhadap kandungan hadis, kaidah umum yang dikenal luas adalah ia tidak bertentangan dengan pesan utama dan nilai inti al-Qur’an. Hal ini karena sejak awal posisi hadis yang berada di bawah al-Qur’an sehingga dalam memahaminya harus berada di bawah pesan utama al-Qur’an. Sedangkan kaitannya dengan validitas, selain harus terverifikasi sebagai hadis sahih dari segi aspek sanad, juga harus terkonfimasi sahih dari aspek matan.

Kesahihan matan hadis juga harus terkonfimasi tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadis lain yang lebih kuat, fakta sejarah, hakikat ilmiah dan akal sehat. Namun, dalam memastikan sesuai atau tidak sesuai dengan al-Qur’an dan seterusnya butuh kajian yang mendalam. Tidak bisa dilakukan berdasarkan asumsi dan simpulan yang dangkal. Tidak menutupkemungkinan terdapat hadis Nabi yang disinyalir bertentangan, padahal yang terjadi sebenarnya adalah kesalahpahaman pengkaji, minimnya literatur atau ketidakmampuan pengkaji dalam menerapkan metode pemaduan atau al-jam‘u wa al-taufīq.

Memahami Hadis, Memahami Komunikasi (Bahasa Arab) Masa Lalu

Kaidah yang berkorelasi dengan aspek kebahasaan dalam hadis Nabi meliputi ungkapan-ungkapan padat-sarat makna atau jawāmi‘ al-kalim, perumpamaan, bahasa simbolik, bahasa dialog, ungkapan analogi, dan sebagainya. Kepekaan terhadap perbedaan narasi dan diksi kata yang Nabi pilih harus dimiliki oleh pengkaji hadis tematik. Satu aspek saja, misalnya, ungkapan perumpamaan, melahirkan perbedaan pemhaman di kalangan para ahli.

Keberadaan teks hadis, layaknya teks pada umumnya, memang membuka ruang untuk dipahami secara berbeda. Satu kata saja bisa memunculkan berbagai makna; satu makna pun bisa mengalami pergeseran dalam rentang waktu yang berbeda dan dari jarak geografis yang berbeda pula. Dalam bahasa yang lebih sederhana bisa dikatakan: bahasa merupakan produk sejarah dan hasil kesepakatan suatu budaya.

Bahasa Arab yang eksis di masa lalu, tidak cukup bisa dipahami menggunakan perspektif kamus-kamus yang lahir di masa kini karena perbedaan budaya dan geografi. Untuk mendapatkan pemahaman yang yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, pengkaji harus memahami dengan baik kebahasaaan yang eksis pada masa Nabi serta memahami dengan baik realitas bangsa Arab kala itu.

Lebih dari itu, mengingat teks hadis muncul di masa lalu, maka bahasa Arab yang dimaksudkan tidak cukup hanya mengandalkan kamus-kamus yang berisi kosa kata modern tetapi harus merujuk pada karya syarah hadis, termasuk literatur-literatur khusus yang berisi penjelasan kata-kata “asing” atau garīb dalam hadis Nabi. Jika pun merujuk pada kamus, seyogianya relevan untuk keperluan tersebut.

Memahami Hadis, Memahami Konteks dan Sejarah Masa Lalu

Metode lain yang relevan untuk memahami konsep atau kata dalam sebuah hadis sesuai dengan masa kondisi dan situasi saat itu adalah dengan dengan melihat hadis yang lain–ini salah satu tujuan dari kajian hadis tematik; melacak pemahaman hadis para sahabat terkait hal tersebut–karena bagaimana pun, mereka adalah generasi yang hidup dengan Nabi sehingga bisa diasumsikan bahwa mereka pula yang paling paham terkait setiap kata dibandingkan generasi setelahnya.

Kaidah lain yang identik dengan kajian hadis tematik adalah kaidah yang berkorelasi dengan konteks, baik konteks masa lalu maupun konteks masa kini. Konteks masa lalu berarti asbāb al-wurūd. Sedangkan konteks masa kini berarti konteks yang sejalan dengan era kontemporer. Dalam terminologi para ahli, secara sederhana asbāb al-wurūd disebut sebagai sebab-sebab khusus yang mengiringi lahirnya hadis Nabi.

Sebab-sebab khusus tersebut adakalanya berbentuk pertanyaan dari sahabat atau sebuah peristiwa tertentu yang memotivasi Nabi untuk memberikan penjelasan. Asbāb al-wurūd jenis ini biasa disebut sebagai asbāb al-wurūd mikro dan bisa dilacak dalam literatur-literatur khusus tentang asbāb al-wurūd. Asbāb al-wurūd jenis lainnya disebut disebut sebagai asbāb al-wurūd makro; yakni kondisi sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang memotivasi Nabi menyampaikan ajarannya. Melacak asbāb al-wurūd jenis ini lebih sulit dan butuh kejelian karena literatur yang dirujuk cenderung bervariasi dan multi disiplin keilmuan, meliputi literatur sejarah, politik, sosial, dan kondisi lainnya yang mengitari masyarakat Arab saat Nabi masih hidup.

Dari Masa Lalu ke Masa Kini

Dengan memahami latarbelakang ini, pengkaji tidak hanya bisa memahami teks hadisnya melainkan bisa mengambil poin utama atau kanndungan inti dari sebuah hadis hingga bisa dikontekstualisasikan dengan kondisi terkini. Dengan demikian, pengkaji hadis tidak perlu terjebak pada perbedaan fikih yang abad klasik dan pertengahan yang tidak kunjung usai.

Sedangkan kaidah hadis tematik yang terkait dengan konteks masa kini adalah bagaimana hadis Nabi, melalui kajian tematik, mampu berkontribusi pada era kontemporer ini. Kaidah ini fokus pada output kajian. Kaidah ini pula akan mendorong para pengkaji hadis tematik untuk lebih peka pada situasi dan kondisi di sekitarnya. Kepekaan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah kajian yang realistik-futuristik yaitu berorientasi pada kemaslahatan umum sesuai dengan prinsip-prinsip maqāṣid al-ḥadīs atau al-maqāṣid al-nabawiyyah.

Namun, demikian, maqāṣid al-ḥadīṡ atau al-maqāṣid al-nabawiyyah tidak bisa dipahami dengan baik jika tidak mengetahui secara seksama bagaimana konteks masa lalu lahirnya hadis tersebut. Jadi, kaidah kesadaran konteks masa lalu dan masa kini harus eksis secara proporsional agar tidak terjebak dalam kunkungan teks yang seakan tidak punya ruh dan tidak tejebak pada keliaran teks yang seakan lepas sama sekali dari konteks kesejarahannya.

Selengkapnya, lihat buku Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, terbitan Maknawi Press, 2021.

Pesatnya Kajian Hadis Tematik di Masa Kontemporer: Faktor-faktor Utama

Semakin maraknya kajian terhadap hadis secara tematik, mengindikasikan bahwa kajian dengan model tersebut memiliki nilai urgensi yang tidak bisa diabaikan. Beberapa tokoh yang sudah disebutkan di atas merupakan tokoh yang mencoba menjelaskan urgensinya sedemikian rupa; sebagian ada yang menjelaskan secara global, sebagian yang lain memerincinya menjadi beberapa poin.

Dasar Teologis

Secara teologis, kajian hadis secara tematik setara dengan kajian hadis pada umumnya. Posisi Nabi sebagai penjelas al-Qur’an dan sosok Nabi yang diyakini sebagai representasi dari al-Qur’an itu sendiri menjadi tumpuan tegas bahwa hadis menjadi objek sentral dalam diskusus keagamaan. Kajian hadis secara tematik merupakan implementasi dari upaya menggali nilai-nilai ajaran luhur tersebut.

Sebagai penafsir yang paling otoritatif, terutama yang berkaitan dengan penjelasan terhadap isi al-Qur’an, Nabi–melalui hadis-hadisnya–menjadi sumber utama dalam memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Peran sentral ini disadari sepenuhnya oleh sahabat Nabi. Tidak mengherankan, apabila kemudian dalam berbagai literatur kenamaan disebutkan bahwa saat para sahabat mengalami kesulitan dalam memahami ayat al-Qur’an, maka tumpuan utama mereka adalah Nabi.

Selain punya tugas utama menjelaskan kandungan al-Qur’an, Nabi secara pribadi dijelaskan oleh al-Qur’an sebagai teladan yang baik. Pengenalan terhadap pribadi Nabi tidak bisa dilakukan secara optimal dan maksimal kecuali dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang diri Nabi. Penggalian informasi terkait hal-hal yang berhubungan dengan Nabi secara otomatis mengharuskan adanya penelusuran yang komprehensif terhadap hadis-hadis.

Kajian hadis secara tematik dengan sendirinya akan mengantarkan pada penggambaran yang komprehensif tersebut. Tentu saja, dalam hal ini, melalui penggalian mendalam terhadap hadis, hal yang bisa didapatkan tidak hanya mengenal Nabi lebih jauh, melainkan terkait aspek-aspek lainnya, seperti bagaimana Nabi memutuskan suatu persoalan yang diajukan, bagaimana Nabi memerlakukan kelompok penganut agama yang berbeda dan sebagainya.

Dasar Akademik

 Secara akademik, keberadaan kajian hadis tematik, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kajian-kajian pada umumnya, terutama kajian dalam bidang keislaman. Dengan kata lain, jika keilmuan seperti ekonomi Islam, hukum Islam, politik Islam dan sebagainya diakui sebagai sebuah keilmuan yang mapan, tentu kajian hadis punya korelasi kuat dengan beberapa keilmuan tersebut. Identitas hadis sebagai bagian dari Islam, menjadikan keilmuan ekonomi Islam dan seterusnya, tidak bisa melepaskan diri dari entitas keilmuan hadis.

Keilmuan hadis sendiri dikenal memiliki cabang pembahasan pokok lainnya sebagai turunan seperti pembahasan tentang al-nāsikh wa al-mansūkh dan al-ḥadīṡ al-mudraj. Secara sederhana, al-nāsikh wa al-mansūkh berarti pembahasan khusus terkait dua–atau lebih–hadis Nabi yang salah satunya berfungsi sebagai hadis yang menghapus (al-nāsikh), dari aspek kesejarahan muncul lebih akhir dan lainnya sebagai hadis yang dihapus (al-mansūkh) dan muncul lebih awal. Ketentuan ini diberlakukan saat dua hadis yang sama saling bertolak-belakang dan tidak dimungkinkan untuk dikompromikan.

Sedangkan al-ḥadīṡ al-mudraj berarti adanya tambahan redaksi tertentu dalam sebuah hadis yang sebenarnya tidak berasal dari Nabi melainkan dari sahabat atau generasi setelahnya. Namun, perawi yang menerima hadis tersebut mengira bahwa tambahan redaksi itu merupakan satu kesatuan dari keseluruhan sabda Nabi sehingga dia pun menyampaikan redaksi hadis tersebut pada orang lain. Sama dengan paparan sebelumnya, al-ḥadīṡ al-mudraj ini pun, tidak bisa diketahui dengan pasti kecuali melalui proses kajian yang tematis.

Faktor Pesatnya Kajian Hadis Tematik

Kaitannya dengan faktor-faktor pesatnya kajian hadis tematik di masa kontemporer, diakui hal tersebut dipicu oleh beberapa hal, antara lain: pertama, munculnya beberapa problematika yang relatif baru di tengah masyarakat muslim. Sebagai problematika baru, secara umum kajian-kajian terdahulu tidak cukup memberikan jawaban yang memadai.

Kajian-kajian terdahulu muncul sesuai tuntutan zamannya. Sistem bunga Bank, program bayi tabung, program salat berjamaah berhadiah umrah dan sejenisnya, merupakan fenomena baru di tengah masyarakat muslim kontemporer yang belum dijelaskan secara spesifik oleh para tokoh muslim generasi awal. Kajian terhadap hadis secara tematik akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan relevan sesuai perkembangan zaman.

Kedua, beberapa kajian hadis yang beredar di tengah masyarakat muslim, fokus pada level teoretis. Kajian terkait pribadi seorang perawi hadis apakah dapat diterima atau ditolak (al-jarḥu wa al-ta‘dīl), konsep hadis dilihat dari aspek kuantitasnya (mutawātir-āhād), kajian apakah dalam sebuah hadis terdapat celah (‘ilal al-ḥadīṡ) dan sebagainya, memang mutlak diperlukan dalam diskursus ilmu hadis, namun tidak mampu memberikan implikasi praktis dalam masyarakat secara umum.

Kajian-kajian tersebut kompatibel secara khusus bagi kalangan akademisi dan ilmuan. Hal ini tidak dalam pengertian bahwa kajian teoretis sama sekali tidak diperlukan. Kajian hadis tematik tetap harus sesuai prosedur ilmiah dan prosedur ilmiah memerlukan kajian-kajian teoretis. Dalam hal ini, kajian-kajian teoretis tersebut, termasuk soal kesahihan sanad hadis, dalam diskursus hadis tematik tidak menjadi tujuan utama. Berbagai persoalan dan fenomena sosial di masyarakat umum, biasanya lebih mengarah pada aspek praktis bukan dari aspek teoretis. Aspek praktis inilah yang biasanya merupakan orientasi dari kajian hadis tematik.

Ketiga, keberadaan media sosial, semakin memertegas bagaiamana pemahaman hadis yang tidak mengacu pada model tematis justru melahirkan problematika tersendiri. Di media baru ini, dapat dengan mudah ditemukan penjelasan secara visual terhadap hadis Nabi. Penjelsan visual ini berupa meme-meme hadis yang tersebar secara masif di dalamnya. Meme hadis celana cingkrang, bidah, larangan perempuan bepergian tanpa mahram dan sebagainya menjadi contoh konkrit bagaimana pemahaman hadis non-tematis itu eksis.

Melalui meme-meme tersebut, pengguna media sosial dikenalkan dengan hadis dengan pemahaman yang tunggal, seakan hanya ada satu hadis dengan satu pemahaman. Realitas ini, punya implikasi akan melahirkan cara berpikir yang tertutup dan klaim kebenaran tunggal. Padahal, jika dikaji secara menyeluruh, dengan model tematis, pengguna media sosial akan disuguhi kenyataan bahwa hadis tekait tema tersebut sebenanya beragam, pemhamannya pun bermcam-macam.

Keempat, keberadaan universitas-universitas Islam, terutama yang secara khusus memiliki program studi ilmu hadis, tentu menjadi salah satu faktor utama pesatnya kajian hadis tematik. Bagaimana pun, kajian hadis, akan menjadi tugas penting dalam segala proses perkuliahan. Kajian terhadap hadis secara tematik akan menjadi tumpuan karena lebih relevan dengan situasi kontemporer dengan ragam problemtika kemasyarakatan yang membutuhkan jawaban.

 Universitas, sebagai wadah aktivitas ilmiah dan ruang akademik, pada gilirannya tidak hanya akan fokus dengan literatur hadis klasik dan mencukupkan diri dengan temuan-temuan hebat generasi awal. Secara akademik, para komponen program studi hadis akan melangkah lebih jauh agar bisa menemukan hal-hal baru melalui kajian-kajian terbaru.

Kelima, keberadaan aplikasi-aplikasi digital dan situs-situs di internet, akan menyokong proses dan aktivitas kajian ini. Al-Maktabah al-Syāmilah, Jāwami‘ al-Kalim, al-Mausū‘ah al-Ḥadīṡiyyah, al-Marja‘ al-Akbar, dorar.net, carihadis.com, hadith.islam-db.com dan sejenisnya akan memberikan kemudahan dalam proses kajian hadis secara tematik, terutama kaitannya dengan proses pelacakan hadis yang satu tema.

Melalui aplikasi-aplikasi dan situs-situs di atas, pengkaji hadis tematik tidak perlu lagi berlama-lama di perpustakaan, membuka lembar demi lembar kitab kondifikasi hadis juga tidak perlu pergi belahan dunia lain untuk bertemu dengan perawi hadis seperti biasa dilakukan oleh tokoh hadis di masa lalu. Para pengkaji hadis tematik cukup hanya dengan mengetik kata kunci sesuai tema yang dicari, lalu tekan “cari,” aplikasi dan situs tersebut secara otomatis akan mengantarkannya pada objek yang dimaksud.

Selengkapnya, lihat buku Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik. Terbitan Maknawi Press, 2021.

 

Hadis Tematik?: Mengurai Aspek Paling Dasar

Hadis tematik, atau dalam term bahasa Arab disebut sebagai al-ḥadīṡ al-mauḍū‘ī, merupakan term yang relatif baru. Term ini tidak ditemukan secara spesifik pada ragam konsep keilmuan yang disebutkan oleh para pakar hadis sebelumnya. Kalau pun ada konsep ḥadīṡ mauḍū‘, namun pada kenyataannya, ḥadīṡ al-mauḍū‘ mengacu pada terminologi yang khas; berbeda sama sekali dengan konsep al-ḥadīṡ al-mauḍū‘ī.

Konsep ḥadīṡ al-mauḍū‘ dan al-ḥadīṡ al-mauḍū‘ī berkorelasi hanya dari aspek gramatikal bahasa dan definisi secara etimologis. Dalam sejarah keilmuan hadis, jelas ḥadīṡ al-mauḍū‘ muncul sejak awal dalam konsep yang negatif. Meskipun ia tetap disebut ḥadīṡ al-mauḍū‘ yang berarti hadis yang dibuat-buat atau palsu, meskipun pada kenyataannya ia bukan sebuah hadis.

Merumuskan Definisi Hadis Tematik

Rumusan tentang al-ḥadīṡ al-mauḍū‘i, sejauh penelusuran penulis, dapat ditemukan dalam konsep-konsep yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh modern-kontemporer. Beberapa tokoh yang dimaksudkan antara lain: Muḥammad ibn ‘Abd Allāh al-Qannāṣ, seorang pengajar hadis pada Fakultas Syariah dan Studi Islam di Universitas al-Qassim, Arab Saudi; Ramaḍān Isḥāq al-Zayyān dari Universitas al-Aqṣā, Palestina; Sa‘ād Biṭāṭ, dari Universitas ‘Abd al-Qadīr Kostantin, Aljazair; Khālid Muḥammad Maḥmūd al-Syarmān dari Universitas Yarmuk, Yordania; Haifā’ ‘Abd al-‘Azīz al-Asyrafī dari Islamic International University of Malaysia dan sebagainya.

Al-Qannāṣ menyebutkan bahwa al-ḥadīṡ al-mauḍū‘ī adalah pengumpulan teks-teks hadis dari sumber primer, yang berkorelasi dengan tema tertentu; pembagian pada kategorisasi-kategorisasi yang spesifik; pengkajian secara tematik terhadap teks-teks hadis yang sudah dikumpulkan, menyertakan keterangan teks-teks al-Qur’an–jika ditemukan– dan mengkorelasikan dengan realitas terkini serta memosisikannya tidak lagi sebagai kerja ilmiah melainkan sebagai bagian untuk kehidupan yang lebih praktis.

Sa‘ād Biṭāṭ menjelaskan dengan ungkapan yang lebih sederhana, “Hadis tematik merupakan sebuah metode yang memelajari berbagai situasi dan persoalan kontemporer berdasarkan pada hasil keseluruhan atau sebagian kajian hadis yang berstatus sahih atau hasan terkait tema tertentu.” Secara lebih komprehensif, al-Zayyān menjelaskan, al-ḥadīṡ al-mauḍū‘ī mengcu pada sebuah keilmuan yang membahas berbagai tema yang tekandung dalam sunah Nabi yang memiliki satu makna dan tujuan; yang dapat digali dengan mengumpulkan berbagai hadis dalam tema yang sama dari sumber primer, satu atau lebih.

Al-Syarmān memberikan definisi bahwa al-ḥadīṡ al-mauḍū‘ī dapat dipetakan menjadi dua definisi: khusus dan umum. Definisi umum berarti sebuah kajian ilmiah terhadap tema tertentu dengan mengacu secara penuh pada penjelasan hadis Nabi; atau penjelasan tema khusus berdasarkan perspektif sunah Nabi. Definisi khususnya adalah sebuah analisis ilmiah terhadap sebuah tema dan didasarkan pada nilai-nilai dalam hadis Nabi yang berkualitas dapat diterima; analisis tersebut diorientasikan dapat mencapai taraf sesuai dengan petnjuk inti pesan Nabi dan dapat diaplikasikan pada realitas terkini.

Selain itu, Ḥaifā’ ‘Abd al-‘Azīz al-‘Asyrafī dalam definisinya terkait syarah tematik tehadap hadis Nabi menjelaskan, “Merupakan kajian terhadap tema tertentu berdasarkan pada perspektif hadis hingga sampai pada taraf yang holistik dan komprehensif.” Meskipun definisi ini ditegaskan sebagai syarah tematik, namun tampaknya segaris dengan hadis tematik yang sedang menjadi fokus pembahasan pada bagian ini.

Dalam penjelasan panjangnya, Ḥaifā’ menegaskan bahwa kata “tema tertentu” atau mauḍū‘ mu‘ayyan bisa mencakup berbagai aspek yang bisa ditemui dalam realitas keseharian seperti aspek keagamaan, sosial, politik, ekonomi, ilmiah dan sebagainya. Sedangkan kalimat “perspektif hadis” yakni bisa saja berdasarkan konsep kunci khusus yang terdapat dalam hadis, sebuah hadis, atau berbagai hadis yang memuat tema yang sama.

Dalam penjelasan Ḥaifā’, kalimat “Sampai pada taraf yang holistik dan komprehensif” berarti kajian tersebut harus mampu memberikan gambaran yang menyeluruh, mulai dari mengenali lebih jauh bagaimana sebenarnya perspektif hadis terkait tersebut, bagaimana pula hadis Nabi memberikan penilaian terhadap tema terkait serta bagaimana hadis tersebut memberikan pedoman [bagaimana seharusnya] interaksi umat manusia kaitannya dengan tema yang dimaksud.

Bagaimana Meramu Ragam Definisi di Atas

Menurut penulis, secara sederhana, pada dasarnya ragam definisi yang disampaikan oleh para ahli di atas berada pada posisi saling menguatkan. Dikatakan demikian karena pada kenyataaannya, tidak semuanya berbicara tentang definisi; sebagian lebih mirip pada metode seperti yang disampaikan oleh al-Qannāṣ dan Sa‘ād Biṭāṭ, sebagian berbicara tentang sifat dari hadis tematik ini seperti disebutkan oleh al-Zayyān. Sedangkan definisi yang disampaikan oleh Haifā’ masih memberikan kesan yang masih sangat umum. Namun, demikian, terdapat tiga kata kunci utama yang tampak selalu muncul pada ragam definisi tersebut: hadis, kontemporer dan kajian.

Beberapa kata kunci di atas dapat dijelaskan pada beberapa poin. Pertama, kajian. Ini berarti dalam konteks ini, hadis tematik lekat dengan proses pengkajian mendalam sesuai dengan prosedur ilmiah dan objektif. Kedua, hadis yang dijadikan pijakan atau objek kajian disyaratkan berstatus dapat diterima (sahih atau hasan) dan berasal dari sumber primer, seperti Kitab Induk Hadis yang Enam, Sembilan dan sebagainya. Ketiga, kontemporer. Artinya, kajian tersebut relevan dengan situasi kontemporer.

Dengan kata lain, kajian yang dilakukan oleh seorang pengkaji bisa saja berpijak pada fenomena tertentu yang sedang terjadi di tengah masyarakat atau berpijak pada tema khusus yang terdapat dalam hadis guna memberikan solusi; atau sekedar gambaran yang komprehensif terkait tema yang sedang terjadi. Berpijak pada paparan ini, dapat dirumuskan bahwa hadis tematik adalah sebuah kajian terhadap berbagai hadis di dalam ragam sumber primer yang memuat tema yang sama, memiliki kualitas yang dapat diterima; kajian dilakukan melalui prosedur ilmiah dan diorientasikan untuk kepeluan yang bersifat praktis atau relevan dengan kondisi kontemporer.

Keberadaan kata kunci hadis dengan kriteria harus diterima mengacu pada kenyataan bahwa tidak semua informasi yang diklaim bersumber dari atau tentang Nabi bisa diterima. Fakta sejarah menunjukkan, terjadi banyak pemalsuan hadis demi kepentingan tertentu. Dalam sejarah panjangnya pula didapatkan data bahwa tidak semua perawi hadis punya kualifikasi sebagai sosok yang bisa diterima. Para perawi hadis tersebut diakui eksis dengan kapasitas diri dan pribadi yang berbeda-beda.

Dari perbedaan tersebut, muncul ragam klaifikasi hadis; sebagian dinilai berkualitas sahih, sebagian hasan dan sebagian lemah. Masing-masing klasifikasi ini pun memiliki tingkatan yang tidak sama; sebagian murni sahih (ṣaḥīḥ li żātih), sebagian disebut sahih karena dikuatkan oleh hadis yang lain (ṣaḥīḥ li gairih); demikian pula hadis dengan kualitas hasan. Hadis lemah pun memiliki tingkatan, dari yang sekedar lemah hingga lemah sekali atau bahkan palsu.

Selengkapnya, lihat buku Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, terbitan Maknawi Press, 2021.

Paradigma dalam Kajian Hadis Tematik

Mengapa Berbeda dalam Memahami Hadis? Karena Paradigmanya!

Paradigma itu ssebuah kerangka berpikir, cara memandang sesuatu (KBBI). Pada masa tertentu, suatu hal bisa saja dianggap salah namun di masa yang lain justru sebaliknya. Bagaimana pun, setiap masa punya paradigmanya sendiri. Paradigma itulah yang memengaruhi hasil dari sebuah penilaian akan suatu hal.

Masing-masing penafsir akan melakukan penafsiran sesuai dengan kapasitas diri dan pengetahuan (stock of knowladge) yang dimiliki. Fenomena ini terus berlangsung dari satu masa ke masa yang lain. Dinamika keagamaan, sosial, politik, budaya dan sebagainya, meniscayakan eksisnya paradigma baru yang berbeda dengan paradigma sebelumnya. Paradigma yang sebelumnya dianggap sudah mapan–meminjam konsep dari Thomas Kuhn–, akan mengalami fase anomali dan krisis yang mengharuskan lahirnya paradigma baru sesuai dengan perkembangan kehidupan yang dihadapi setiap masanya.

Perbedaan pemahaman terhadap teks agama di masa Islam klasik, pertengahan dan modern, merupakan imbas dari perbedaan paradigma yang digunakan kala itu. Ringkasnya, tidak ada satu paradigma yang akan terus bertahan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Paradigma akan mengalami proses pergeseran. Dalam konteks kontemprer, setidaknya terdapat tiga paradigma yang bisa dilacak berkorelasi secara khusus dengan kajian hadis tematik terkini yaitu paradigma integratif-interkonektif dan paradigma dimensional.

Paradigma Integratif-Interkonektif

Paradigma integrasi dan interkoneksi berarti kerangka berpikir yang menempatkan dua hal atau lebih sebagai bagian yang terpadu dan saling terhubung satu sama lain. Melalui paradigma ini, ragam keilmuan yang seakan sudah mapan dan mampu berdiri sendiri sejatinya dia butuh ditopang oleh keilmuan lain. Sejatinya dia tidak benar-benar berdiri sendiri. Kalau pun berdiri sendiri, pada gilirannya akan mengalami titik ‘jenuh’ dan harus membuka ruang untuk menerima keberadaan keilmuan lain akan ia tetap lestari dan eksis.

Kepaduan dan kesalingterhubungan berbagai keilmuan tidak dalam pengertian bahwa kesemuanya tidak memiliki entitas dan identitas yang mandiri. Fakta sejarah menunjukkan bahwa setiap keilmuan eksis dan karakteristiknya masing-masing. Hadis, misalnya, sudah dinilai layak disebut sebagai sebuah keilmuan. Dari ini, muncul ilmu hadis. Dari ilmu hadis, muncul keilmuan yang merupakan turunan dari ilmu ini.

Keberadaan hadis tematik tentunya juga tidak pernah lepas dari akar keilmuan hadis yang sudah dianggap mapan tersebut. Hadis tematik yang dianggap hanya mengakomudir hadis-hadis yang sahih atau minimal hasan pasti berkorelasi dengan ilmu tentang sanad atau perawi hadis diperlukan sebagai salah satu instrumen memastikan apakah hadis terkait berkualitas sahih [atau minimal hasan] atau tidak.

Di laur keilmuan internal, keilmuan hadis juga harus terintegrasi dengan keilmuan di luar hadis, seperti keilmuan al-Qur’an-tafsir, keilmuan teologi-kalam, keilmuan hukum-fikih, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Sosok Nabi dengan semua hadisnya, merupakan representasi dari pesan al-Qur’an. Nabi menjadi penjelas dari kandungan al-Qur’an, baik dalam bentuk verbal, melalui sabda-sabdanya, maupun dalam bentuk non-verbal yaitu perilakunya.

Dengan demikian, pemahaman hadis harus sesuai dengan pesan utama al-Qur’an. Demikian pula, keberadaan hadis dan pemahamannya, tidak bisa lepas dari keberadaan kalam dan fikih. Bagaimana pun, persoalan kalam dan fikih juga merupakan bagian dari ajaran hadis sehingga untuk memahaminya pun perlu melihat penjelasan bagaimana para pakar kalam dan fikih menjelaskan hal tersebut.

Kaitannya dengan sosiologi dan antropologi pun tidak jauh beda dengan contoh penyederhanaan ini, bahwa hadis Nabi muncul dalam ruang sejarah manusia yakni sejarah seorang manusia dengan para masyarakatnya kala itu. Perintah, larangan atau pesan-pesan Nabi pada dasarnya terikat oleh situasi dan kondisi saat itu. Meskipun kemudian dapat dipetakan kembali apakah muatannya bersifat lokal atau universal yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu.

Pemahaman terhadap kandungan hadis juga merupakan bentuk kreasi dari manusia itu sendiri. Pada poin ini, ilmu sosiologi dan antropologi, dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan tersebut dengan baik. Dua keilmuan ini, serta jenis keilmuan sosial-humaniora lainnya mampu menjelaskan sesuatu yang tidak bisa hanya dilihat dari teks-teks yang sudah baku tersebut dan sudah tertulis dalam literatur-literatur kodifikasi dan kompilasi.

Paradigma Dimensional

Paradigm dimensional adalah kesadaran akan keterikatan hadis Nabi dengan realitasnya di masa lalu. Paradigma ini meniscayakan pembacaan yang tidak hanya terpusat pada teks hadis melainkan juga melibatkan aspek konteks di masa lalu dan nilai utama yang dikandung dalam hadis.

Dalam konteks hari ini, berbicara tentang hadis, maka konotasinya adalah hadis yang sudah berada dalam literatur-literatur besar para ahli. Hadis yang dimaksudkan sudah berbentuk teks tertulis atau catatan-catatan informatif tentang perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal lain yang dinilai bersumber dari Nabi. Namun, meskipun sudah menjadi teks, akan tetapi ia tidak muncul dalam satu bentuk atau varian.

Sejarah bisa terus berulang meskipun dengan bentuk yang berbeda. Suatu persoalan yang muncul di masa tertentu bisa saja muncul di masa yang berbeda, baik dengan kemasan yang sama atau pun berbeda. Atas dasar hal ini, satu persoalan di masa lalu yang sudah ditangani dengan baik oleh Nabi melalui sabda dan tindakannya, bisa saja saat masalah tersebut muncul kembali di hari ini tetap bisa ditangani dengan cara yang sama seperti Nabi menyelesaikannya di masa lalu; bisa dengan cara yang berbeda namun tetap mengacu pada nilai yang sama seperti Nabi melakukannya.

Contoh sederhana dari persoalan ini adalah dengan melihat larangan Nabi bagi perempuan untuk melakukan perjalanan jika tidak ditemani mahramnya. Kebijakan tersebut jelas terikat dengan situasi dan kondisi yang tengah terjadi pada masa itu. Kenyataan bahwa jalanan Arab yang gersang, transportasi yang sangat terbatas, kondisi keamanan yang tidak bisa diandalkan, serta alasan-alasan keselamatan lainnya menjadi titik tekan lahirnya larangan tersebut. Apalagi, kondisi perempuan yang belum terbiasa seorang diri di muka umum jelas akan menimbulkan stigma yang justru merugikan perempuan itu sendiri.

Konsekuensi logis dari larangan–yang kemudian menjadi aturan–di atas, jika situasi dan kondisinya berubah, maka aturannya pun akan berubah. Titik tekan aturan Nabi adalah keselamatan dan keamanan perempuan. Jika situasinya sudah mendukung bagi perempuan untuk melakukan perjalanan seorang diri, maka keberadaan mahram tidak diperlukan lagi, atau bisa digantikan dengan yang lain dengan posisi yang sama sebagai penjamin keselamatan dan keamanan perempuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teks hadis terkait tema larangan perempuan sebenarnya memiliki ragam dimensi. Kesadaran akan ragam dimensi tersebut akan mengantarkan pada kesadaran akan adanya pesan utama sebuah ajaran agama.

Kepaduan-keterhubungan (integrasi-interkoneksi) dan muatan dimensi merupakan kerangka berpikir yang meniscayakan keterbukaan dan menerima ragam perspektif terhadap teks-teks agama, termasuk teks hadis Nabi. Penggunaan perspektif di luar perspektif keilmuan internal (ilmu hadis), selain sebagai bentuk pengayaan, juga bisa memberikan deskripsi yang lebih dalam terkait tema yang sedang dijadikan objek kajian.

Perspektif yang berbeda-beda tidak ubahnya sebuah sudut yang bisa menghindarkan diri dari model berpikir simplistik dan parsial. Ragam perspektif memungkinakan para pengkaji hadis dapat melihat suatu objek lebih utuh dan tidak terjebak pada klaim kebenaran tunggal. Dalam bahasa yang berbeda, ragam perspektif tidak hanya bisa melihat bentuk teks hadis, melainkan sampai pada apa yang ada di balik teks dan aspek-aspek lain yang melingkupi.

Selengkapnya lihat buku Pengantar Metodologi Hadis Tematik karya Miski, terbitan Maknawi Press, 2021.

Harus Kembali pada al-Qur'an dan Hadis!

 Beragama harus merujuk pada al-Qur'an dan hadis. Secara teologis, ini tidak bisa diganggugugat. Dalam hal ini, al-Qur'an dan hadis menjadi pijakan dalam berkeyakinan. Pada gilirannya menjadi pijakan dalam hal yang berada di luar keyakinan, seperti berinteraksi dengan sesama manusia, alam, dan sebagainya.

Namun, istilah "merujuk" tidak sesederhana cara bacanya. Bagaimana pun, al-Qur'an dan hadis muncul dalam tentang waktu yang begitu jauh. Konsekuensinya, merujuk pada dua hal ini berarti kita terhubung dengan aspek sejarah, sosial, politik, dan berbagai hal yang eksis saat itu. Dengan begitu, tak mungkin bisa memahami al-Qur'an atau hadis dengan baik tanpa memahami aspek-aspek tersebut lebih dulu.

Contoh yang paling sederhana dari aspek di atas adalah fakta bahwa al-Qur'an berbahasa Arab. Itu pun bahasa Arab yang ada pada 14 abad yang lalu. Bahasa tentu terikat oleh budaya saat itu. Karena sifatnya yang demikian, pasti bahasa berkembang. Bila bahasa terus berkembang, maka tak mungkin bisa memahami bahasa al-Qur'an dengan perspektif bahasa hari ini.