Realitas
sosial kehidupan Nabi tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik
persoalan politik, keagamaan, kebudayaan maupun yang lainnya. Masing-masing
persoalan ini memuat tema-tema umum; masing-masing tema, memuat tema spesifik.
Dalam konteks keagamaan, misalnya, beberapa sabda Nabi, tegas mengandung
pesan-pesan yang terdiri dari berbagai tema.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa model berpikir dan menjelaskan secara tematis
pada dasarnya merupakan keniscayaan dan sudah dipraktikkan secara khusus oleh
Nabi sejak masa awal Islam.
Hadis Tematik pada Masa Sahabat
Pada
masa sahabat, beberapa literatur-literatur kenamaan secara tegas mengisahkan
beberapa nama yang sudah memeraktikkan konsep hadis tematik, terutama yang
berbentuk bukti tertulis mereka, seperti surat resmi yang dikirim pada orang
lain atau catatan pribadi.
Abū
Bakr al-Ṡaqafī juga dikisahkan memiliki pengalaman yang sama; dia mengirimkan
pesan khusus pada anaknya yang sedang bertugas sebagai kadi di Sijistan. Isi
pesannya berupa hadis-hadis Nabi yang terkait dengan urusan pengadilan (al-qaḍā’).
Kisah lainnya berkenaan dengan ‘Abd Allāh ibn Mas‘ūd; dikisahkan bahwa beliau
memiliki sebuah catatan yang berisi bacaan tasyahhud dan istikhārah.
Al-Zuhrī
juga mengisahkan bahwa Zaid ibn Ṡābit, sekretaris pribadi Nabi juga memiliki
catatan tentang faraid. Dia berkata, “Andai Zaid ibn Ṡābit tidak menulis
tentang ketentuan faraid, ilmu itu akan segera punah dari manusia.” Selain
beberapa nama tersebut, terdapat nama ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb, ‘Alī ibn Abī Ṭālib,
‘Abd Allāh ibn ‘Abbās, ‘Amr ibn Ḥazm al-Anṣārī, ‘Abd Allāh ibn ‘Amr, Abū
Rāfi‘-pelayan Nabi-, Mu‘aż ibn Jabal dan lain-lain yang disebut memiliki
catatan tematik terkait hadis, baik yang ditulis sendiri maupun yang didapatkan
dari atasannya.
Hadis Tematik Pasca Masa Sahabat
dan Tabiin
Pasca masa Sahabat, hadis
tematik mengalami perkembangan yang signifikan. Jika pada masa para sahabat
keberadaan hadis tematik sangat sederhana dan terbatas, maka pada masa generasi
murid mereka, para tabiin, hadis tematik mulai tampak lebih sistematis, luas
dan dapat dikonsumsi publik. Tema-temanya
pun mulai beragam, seperti tafsir, fikih dan sejarah.
Pada generasi
pasca tabiin hingga tahun 200 H, hadis tematik mengalami perkembangan yang
relatif signifikan. Sebelumnya, penulisan hadis tematik secara umum fokus pada
satu tema spesifik atau beberapa tema saja dalam tema besar tafsir, fikih dan
sejarah. Pada masa pasca tabiin ini, tema-tema besar tersebut memuat tema-tema
spesifik yang semakin beragam.
Kalau
pun kumpulan hadis yang mereka miliki terkait tema spesifik, namun mulai lebih
luas dan memuat banyak hadis. Pada masa ini pula mulai dikenal sebuah karya
yang disebut sebagai muṣannaf, muwaṭṭa’ dan jāmi‘. Istilah-istilah ini biasanya merujuk pada model
pengumpulan hadis yang lebih sistematis, memuat berbagai tema dan bab serta
karakteristik-karakterisitik lainnya.
‘Abd
al-Makīn ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn Juraij (w. 150 H) memiliki sebuah karya dalam
bidang hadis, di antaranya al-Sunan yang memuat berbagai hadis yang
disusun berdasarkan bab-bab fikih. Sa‘īd ibn ‘Arūbah (w. 155 H) menulis
beberapa karya, di antaranya Tafsīr al-Qur’ān, al-Sunan, al-Manāsik,
al-Nikāḥ, al-Ṭalāq dan lain-lain. Sosok ini pula yang disebut sebagai orang
pertama yang menulis karya berdasarkan bab-bab di Basrah.
Sufyān
al-Ṡaurī al-Kūfī (w. 161 H) menulis beberapa karya, antara lain: al-Jāmi‘
al-Kabīr, al-Jāmi‘ al-Kabīr, al-Farā’iḍ, al-Tafsīr. Selain itu, terdapat
nama terkenal lainnya, yaitu Muḥammad ibn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Żi’bin (w. 158
H) yang menulis al-Sunan; di dalamnya memuat berbagai hadis dalam bidang
fikih seperti salat, zakat, puasa dan manasik.
Di
generasi yang sama terdapat nama Muḥammad ibn Isḥāq ibn Yasār (w. 151 H) yang
disebut-sebut memiliki banyak hafalan hadis dan karya besar dalam bidang
sejarah dan dikenal luas dengan sebutan Sīrah Ibn Isḥāq. ‘Abd Allāh ibn
al-Mubārak (w. 181 H) menulis Kitāb al-Zuhd, Kitāb al-Jihād, Kitāb al-Birr
dan Kitāb al-Ṣilah; Ma‘mar ibn Rasyīd al-Ṣan‘ānī (w. 153 H) menulis
banyak karya dalam bidang hadis, sejarah peperangan Nabi dan lain-lain. Mālik
Ibn Anas al-Aṣbāḥī (w. 179 H) menulis al-Muwaṭṭa’; Sufyān ibn ‘Uyainah
menulis al-Jāmi‘ serta Kitāb lain dalam bidang tafsir.
Selain nama-nama
tersebut, terdapat
nama lainnya. Namun, secara umum, atensi mereka terhadap hadis tematik terlihat
sangat besar. Kary-karya yang mereka tulis, sebagian berupa hadis tematik
khusus yakni fokus pada satu tema-satu kitab; sebagian yang lain memuat
berbagai tema-satu kitab.
Meskipun,
sebagian besarnya tidak hanya berisi hadis Nabi, melainkan juga fatwa sahabat
dan tabiin. Model-model penulisan hadis tematik pada masa ini menginspirasi
lahirnya berbagai inovasi dari generasi berikutnya. Sekaligus menjadi cikal
bakal rumusan sederhana keilmuan dasar hadis tematik yang akan digagas dengan
baik oleh generasi yang hidup pada 200 H hingga 450 H. Dengan kata lain, 1-200 H merupakan akar inspirasi dan
awal kemunculan hadis tematik.
Hadis Tematik pada Generasi pasca
1-200 H?
Pertanyaannya kemudian,
bagaimana hadis tematik pada generasi pasca 1-200 H? Dalam hal ini, hadis
tematik setidaknya dapat dipetakan ke dalam empat babakan sejarah. Pertama, tahun
200-450 H. Masa
ini bisa disebut masa inovasi dan perkembangan.
Pada masa ini, hadis
tematik mengalami fase inovasi perkembangan yang pesat. Tema-tema yang muncul
tidak lagi terbatas pada tema besar tafsir, fikih dan sejarah. Masing-masing
tema besar ini melahirkan tema spesifik dan memuat tema-tema pentingnya lainnya.
Tema-tema spesifik pada masa ini di antaranya masuk ke dalam tema akidah,
ibadah, pendidikan, akhlak, fitnah dan sebagainya.
Kecenderuangan
lain dalam konteks hadis tematik pada masa ini adalah merebaknya tema tentang
keuatamaan-keutamaan (al-faḍā’il), anjuran-anjuran dan larangan atau
yang biasa dikenal dengan istilah al-targīb wa al-tarhīb.
Kedua,
tahun 450-660 H yakni masa stagnasi. Pada masa ini, hadis temaik lebih cenderung bersifat
repetitif terkait tema, yakni tanpa inovatif yang berarti. Selain itu, aktivitas kajian hadis tematik pada masa
ini juga sebagian besar hanya berupa peniruan, berupa himpunan dari berbagai
tema sebelumnya, atau sekedar ringkasan dari karya yang pernah ada, seperti
kumpulan hadis tema penyembuhan ala Nabi, hukum Islam, keutamaan-keutamaan,
anjuran dan larangan, pendidikan, huru-hara atau fitnah dan sebagainya.
Ketiga, tahun
660-1100 H yakni masa kebangkitan.
Pada masa ini,
karya besar dalam bidang hadis kembali menggelora. Banyak karya penting yang
ditulis para pakar masa itu, baik dalam tema yang sama namun dengan judul yang
berbeda atau terkait tema memang berbeda-beda, seperti tema hukum Islam (aḥādīṡ
al-aḥkām), doa dan zikir (al-ad‘iyah wa al-ażkār),
keutamaan-keutamaan (al-faḍā’il), anjuran dan larangan dalam Islam (al-targīb
wa al-tarhīb), tanda-tanda kiamat (asyrāṭ al-sā‘ah), penyembuhan ala
Nabi (al-Ṭibb al-nabawī) dan sebagainya.
Karya yang ditulis pada masa
tersebut juga terdiri dari beragam tema. Selain itu, tokoh-tokohnya pun dikenal
relatif sangat produktif. Satu tokoh bisa melahirkan karya dalam berbagai tema
hadis, di antara tokoh terkenal produktif pada masa ini adalah Ibn Taimiyah (w.
728 H), Ibn Kaṡīr (w. 774 H), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) dan al-Suyūṭī
(w. 911 H).
Keempat, tahun 1100-1400 H. Pada masa ini, kajian
hadis tematik mengalami kemunduran. Meskipun, di saat yang sama, mulai muncul
perumusan kongkrit keilmuan hadis tematik. Pada masa ini, para pakar hadis tematik tidak sebanyak pada masa
sebelumnya. Karya-karya yang dilahirkan pun tidak bisa disejajarkan dengan
karya pakar yang hidup antar660-110 H. Terutama mereka yang berada di bawah
pemerintahan dinasti Mamluk seperti Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) dan
al-Suyūti} (w. 911 H) yang sudah berhasil menulis karya dalam berbagai tema dan
beragam judul.
Masa
1100-1400 H ini bisa dikatakan merupakan masa kemunduran hadis tematik.
Kemunduran dalam pengertian tidak hanya mengalami stagnasi namun sama sekali
secara umum tidak ada perkembangan yang signifikan jika dibandingkan masa
sebelumnya.
Masa Kemunduran Kajian Hadis
Tematik?
Masa
kemunduran yang dimaksudkan pada poin ini adalah jika diukur dengan tingkat
produktivitas. Beberapa nama seperti al-Dihlawī (w. 1179 H), Abū al-Ḥasan
al-Kabīr (w. 1138 H), Muḥammad Ḥayāh al-Sindī (w. 1163 H), Ismā‘īl al-‘Ajlūnī
(w. 1162 H), Muḥammad ibn Aḥmad al-Safārīnī (w. 1188 H), Muḥammad ibn Ismā‘īl
al-Ṣan‘ānī (w. 1142 H), Muḥammad Sa‘īd al-Sunbul dan ‘Abd al-Ganī al-Nablūsī
(w. 1143 H) disebut sebagai tokoh-tokoh terkenal yang mengambil bagian untuk
tetap menjaga tradisi penulisan hadis dalam berbagai tema.
Tema-tema
hadis yang muncul pada masa ini tidak jaub berbeda dengan tema-tema masa
sebelumnya, yakni keutamaan (faḍā‘il), anjuran dan larangan dalam agama
(al-targīb wa al-tarhīb); huru-hara (fitan) serta tema-tema fikih
dan akidah.
Namun demikian, di tengah
kemunduran kajian hadis secara tematik, faktanya pada masa moderan-kontemporer,
utamanya, dijumpai banyak rumusan metodologis-teoretis tentang kajian hadis
tematik. Tentu saja, hal ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
universitas-universitas, ruang-ruang diskusi ilmiah, dan lain-lainnya. Beberapa
hal ini pada gilirannya memaksa pada pengkaji hadis tematik untuk turut
menyesuaikan kajian yang diproduksinya ‘tampak lebih’ ilmiah-akademis yang
ditopang dengan tawaran metodologis-teoretis.
Selengkapnya lihat buku Pengantar
Metodologi Penelitian Hadis Tematik, terbitan Maknawi Press, 2021.