~ Kritis ~ Kreatif ~ Komunikatif ~

KOMFAS dan Potret Masa Lalu dalam Tradisi Masa Kini: Sebuah Catatan Reflektif

Apa itu Komfas?

13-14 Juli 2022 adalah kunjungan pertama saya ke UIN Mataram. Di kampus ini saya mendengar sebutan Komfas untuk pertama kalinya.  Komfas itu bentuk akronim dari Komunitas Belajar Tafsir al-Qur’an dan Hadis. Sebuah komunitas yang eksis di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Mataran, Nusa Tenggara Barat. Hampir tidak ada yang spesial dari komunitas ini. Sekilas, begitu.

Di sana ada program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQT), jadi, maklum kalau ada komunitas yang searah. Yakni sama-sama berkorelasi dengan dengan al-Qur’an. Palingan, anggotanya itu-itu saja. Mereka hanya terikat oleh kepentingan dan minat yang sama. Kira-kira begitu yang saya pikirkan pada mulanya.

Tapi, ternyata saya terjebak dalam cara berpikir yang simplistik. Terlalu menyederhanakan sebuah fenomena. Faktanya, komunitas ini tak cukup selesai digambarkan hanya sebagai sebuah komunitas seperti pada umumnya. Ada nilai, budaya, dan karakteristik lain yang sangat khas dan unik. Yang tak bisa didapatkan di tempat yang berbeda.

Singkat Cerita...

Saya berkesempatan menyaksikan langsung salah satu kegiatan utama komunitas ini. Yakni belajar takhrij hadis. Sebuah keilmuan dan aktivitas khusus yang harus dikuasai oleh pemerhati ilmu hadis. Keilmuan dan aktivitas ini penting guna memastikan apakah sebuah hadis dapat diterima atau harus ditolak. Tentu saja, prosesnya tak sesederhana itu. Ada proses-proses panjang, menelusuran mendalam, dan sebagainya, untuk kemudian bisa sampai pada simpulan akhir.

Sebenarnya, aktivitas takhrij sudah dilakukan oleh ulama hadis di masa lalu, dilanjutkan oleh generasi berikutnya, dan kita pun turut mengenalnya hingga hari ini. Bagi sebagian orang, takhrij kita mungkin sudah tak penting lagi. Kan, sudah dilakukan oleh ulama di masa lalu. Sederhananya, bila ulama di masa lalu sudah melakukan, kenapa kita harus mengulang-ngulang? Benar. Pada dasarnya, kita tak ada apa-apanya dibandingkan para ulama itu. Tapi, dalam konteks ini, ada nilai luhur dari kegiatan takhrij mereka. Mereka tidak hanya melakukan hal yang sia-sia seperti anggapan orang-orang di luar sana.

Saat itu, saya menyaksikan bagaimana salah satu peserta diberi berbagai pertanyaan oleh tiga orang yang duduknya di bagian depan. Tiga orang ini bertindak layaknya penguji tugas akhir. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan tampak sangat kritis, berbobot, dan tidak sekadar formalitas. Sampai saya berpikir, andai saya berada di posisi peserta yang sedang presentasi, tak ada jaminan saya bisa menjawab dengan baik. Tapi dia bisa mengutarakan banyak hal secara argumentatif. Pun demikian, andai saya berada di posisi tiga ‘penguji’, tak mesti bisa memberikan pertanyaan se keren mereka!

Hari Gini Masih Belajar Takhrij?

Singkat cerita, di tengah rasa heran, Ustaz Fitrah Sugiarto, selaku pembina Komfas menjelaskan, “Mereka adalah anggota komunitas ini. Takhrij hadis menjadi salah satu kerja utama di sini. Tiga orang yang di depan bertindak sebagai penguji; yang presentasi berada di posisi sedang diuji.” Penjelasan singkat yang memukau.

Flyer kegiatan Takhrij Komfas.

Jadi, ini sejenis ujian kualifikasi. ‘Para penguji’ sebagian besar adalah para senior Komfas. Anggota komunitas yang biasanya sudah lulus dari Sarjana Satu dan tengah menempuh jenjang berikutnya. Jelas, ini menjadi bentuk regenerasi. Bagaimana pun, ‘yang diuji’ kelak bisa diakui kualifikatif bila hasil kajian takhrijnya dinilai baik. Sebagai ‘ujian kualifiasi,’ cara ini ditempuh untuk memastikan bahwa dia pun mampu menjadi ‘penguji’. Kelak.

Karena penasaran, saya pun memberanikan diri bertanya, “Proses takhrijnya dilakukan secara manual?” Mereka menjawab, “Iya. Dan, dengan begitu kita sedikit mampu mendapatkan gambaran tentang bagaimana ulama masa lalu begitu berjuang.” Dalam menjelaskan perjuangan ulama di masa lalu, mereka menyebut istilah “feel” atau “rasa.” Istilah yang digunakan secara konsisten untuk menunjukkan bagaimana mereka menghayati proses tersebut. Jadi, tidak dalam posisi ingin merepotkan diri. Alih-alih buang-buang waktu.