~ Kritis ~ Kreatif ~ Komunikatif ~

Paradigma dalam Kajian Hadis Tematik

Mengapa Berbeda dalam Memahami Hadis? Karena Paradigmanya!

Paradigma itu ssebuah kerangka berpikir, cara memandang sesuatu (KBBI). Pada masa tertentu, suatu hal bisa saja dianggap salah namun di masa yang lain justru sebaliknya. Bagaimana pun, setiap masa punya paradigmanya sendiri. Paradigma itulah yang memengaruhi hasil dari sebuah penilaian akan suatu hal.

Masing-masing penafsir akan melakukan penafsiran sesuai dengan kapasitas diri dan pengetahuan (stock of knowladge) yang dimiliki. Fenomena ini terus berlangsung dari satu masa ke masa yang lain. Dinamika keagamaan, sosial, politik, budaya dan sebagainya, meniscayakan eksisnya paradigma baru yang berbeda dengan paradigma sebelumnya. Paradigma yang sebelumnya dianggap sudah mapan–meminjam konsep dari Thomas Kuhn–, akan mengalami fase anomali dan krisis yang mengharuskan lahirnya paradigma baru sesuai dengan perkembangan kehidupan yang dihadapi setiap masanya.

Perbedaan pemahaman terhadap teks agama di masa Islam klasik, pertengahan dan modern, merupakan imbas dari perbedaan paradigma yang digunakan kala itu. Ringkasnya, tidak ada satu paradigma yang akan terus bertahan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Paradigma akan mengalami proses pergeseran. Dalam konteks kontemprer, setidaknya terdapat tiga paradigma yang bisa dilacak berkorelasi secara khusus dengan kajian hadis tematik terkini yaitu paradigma integratif-interkonektif dan paradigma dimensional.

Paradigma Integratif-Interkonektif

Paradigma integrasi dan interkoneksi berarti kerangka berpikir yang menempatkan dua hal atau lebih sebagai bagian yang terpadu dan saling terhubung satu sama lain. Melalui paradigma ini, ragam keilmuan yang seakan sudah mapan dan mampu berdiri sendiri sejatinya dia butuh ditopang oleh keilmuan lain. Sejatinya dia tidak benar-benar berdiri sendiri. Kalau pun berdiri sendiri, pada gilirannya akan mengalami titik ‘jenuh’ dan harus membuka ruang untuk menerima keberadaan keilmuan lain akan ia tetap lestari dan eksis.

Kepaduan dan kesalingterhubungan berbagai keilmuan tidak dalam pengertian bahwa kesemuanya tidak memiliki entitas dan identitas yang mandiri. Fakta sejarah menunjukkan bahwa setiap keilmuan eksis dan karakteristiknya masing-masing. Hadis, misalnya, sudah dinilai layak disebut sebagai sebuah keilmuan. Dari ini, muncul ilmu hadis. Dari ilmu hadis, muncul keilmuan yang merupakan turunan dari ilmu ini.

Keberadaan hadis tematik tentunya juga tidak pernah lepas dari akar keilmuan hadis yang sudah dianggap mapan tersebut. Hadis tematik yang dianggap hanya mengakomudir hadis-hadis yang sahih atau minimal hasan pasti berkorelasi dengan ilmu tentang sanad atau perawi hadis diperlukan sebagai salah satu instrumen memastikan apakah hadis terkait berkualitas sahih [atau minimal hasan] atau tidak.

Di laur keilmuan internal, keilmuan hadis juga harus terintegrasi dengan keilmuan di luar hadis, seperti keilmuan al-Qur’an-tafsir, keilmuan teologi-kalam, keilmuan hukum-fikih, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Sosok Nabi dengan semua hadisnya, merupakan representasi dari pesan al-Qur’an. Nabi menjadi penjelas dari kandungan al-Qur’an, baik dalam bentuk verbal, melalui sabda-sabdanya, maupun dalam bentuk non-verbal yaitu perilakunya.

Dengan demikian, pemahaman hadis harus sesuai dengan pesan utama al-Qur’an. Demikian pula, keberadaan hadis dan pemahamannya, tidak bisa lepas dari keberadaan kalam dan fikih. Bagaimana pun, persoalan kalam dan fikih juga merupakan bagian dari ajaran hadis sehingga untuk memahaminya pun perlu melihat penjelasan bagaimana para pakar kalam dan fikih menjelaskan hal tersebut.

Kaitannya dengan sosiologi dan antropologi pun tidak jauh beda dengan contoh penyederhanaan ini, bahwa hadis Nabi muncul dalam ruang sejarah manusia yakni sejarah seorang manusia dengan para masyarakatnya kala itu. Perintah, larangan atau pesan-pesan Nabi pada dasarnya terikat oleh situasi dan kondisi saat itu. Meskipun kemudian dapat dipetakan kembali apakah muatannya bersifat lokal atau universal yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu.

Pemahaman terhadap kandungan hadis juga merupakan bentuk kreasi dari manusia itu sendiri. Pada poin ini, ilmu sosiologi dan antropologi, dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan tersebut dengan baik. Dua keilmuan ini, serta jenis keilmuan sosial-humaniora lainnya mampu menjelaskan sesuatu yang tidak bisa hanya dilihat dari teks-teks yang sudah baku tersebut dan sudah tertulis dalam literatur-literatur kodifikasi dan kompilasi.

Paradigma Dimensional

Paradigm dimensional adalah kesadaran akan keterikatan hadis Nabi dengan realitasnya di masa lalu. Paradigma ini meniscayakan pembacaan yang tidak hanya terpusat pada teks hadis melainkan juga melibatkan aspek konteks di masa lalu dan nilai utama yang dikandung dalam hadis.

Dalam konteks hari ini, berbicara tentang hadis, maka konotasinya adalah hadis yang sudah berada dalam literatur-literatur besar para ahli. Hadis yang dimaksudkan sudah berbentuk teks tertulis atau catatan-catatan informatif tentang perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal lain yang dinilai bersumber dari Nabi. Namun, meskipun sudah menjadi teks, akan tetapi ia tidak muncul dalam satu bentuk atau varian.

Sejarah bisa terus berulang meskipun dengan bentuk yang berbeda. Suatu persoalan yang muncul di masa tertentu bisa saja muncul di masa yang berbeda, baik dengan kemasan yang sama atau pun berbeda. Atas dasar hal ini, satu persoalan di masa lalu yang sudah ditangani dengan baik oleh Nabi melalui sabda dan tindakannya, bisa saja saat masalah tersebut muncul kembali di hari ini tetap bisa ditangani dengan cara yang sama seperti Nabi menyelesaikannya di masa lalu; bisa dengan cara yang berbeda namun tetap mengacu pada nilai yang sama seperti Nabi melakukannya.

Contoh sederhana dari persoalan ini adalah dengan melihat larangan Nabi bagi perempuan untuk melakukan perjalanan jika tidak ditemani mahramnya. Kebijakan tersebut jelas terikat dengan situasi dan kondisi yang tengah terjadi pada masa itu. Kenyataan bahwa jalanan Arab yang gersang, transportasi yang sangat terbatas, kondisi keamanan yang tidak bisa diandalkan, serta alasan-alasan keselamatan lainnya menjadi titik tekan lahirnya larangan tersebut. Apalagi, kondisi perempuan yang belum terbiasa seorang diri di muka umum jelas akan menimbulkan stigma yang justru merugikan perempuan itu sendiri.

Konsekuensi logis dari larangan–yang kemudian menjadi aturan–di atas, jika situasi dan kondisinya berubah, maka aturannya pun akan berubah. Titik tekan aturan Nabi adalah keselamatan dan keamanan perempuan. Jika situasinya sudah mendukung bagi perempuan untuk melakukan perjalanan seorang diri, maka keberadaan mahram tidak diperlukan lagi, atau bisa digantikan dengan yang lain dengan posisi yang sama sebagai penjamin keselamatan dan keamanan perempuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teks hadis terkait tema larangan perempuan sebenarnya memiliki ragam dimensi. Kesadaran akan ragam dimensi tersebut akan mengantarkan pada kesadaran akan adanya pesan utama sebuah ajaran agama.

Kepaduan-keterhubungan (integrasi-interkoneksi) dan muatan dimensi merupakan kerangka berpikir yang meniscayakan keterbukaan dan menerima ragam perspektif terhadap teks-teks agama, termasuk teks hadis Nabi. Penggunaan perspektif di luar perspektif keilmuan internal (ilmu hadis), selain sebagai bentuk pengayaan, juga bisa memberikan deskripsi yang lebih dalam terkait tema yang sedang dijadikan objek kajian.

Perspektif yang berbeda-beda tidak ubahnya sebuah sudut yang bisa menghindarkan diri dari model berpikir simplistik dan parsial. Ragam perspektif memungkinakan para pengkaji hadis dapat melihat suatu objek lebih utuh dan tidak terjebak pada klaim kebenaran tunggal. Dalam bahasa yang berbeda, ragam perspektif tidak hanya bisa melihat bentuk teks hadis, melainkan sampai pada apa yang ada di balik teks dan aspek-aspek lain yang melingkupi.

Selengkapnya lihat buku Pengantar Metodologi Hadis Tematik karya Miski, terbitan Maknawi Press, 2021.

0 comments:

Posting Komentar