~ Kritis ~ Kreatif ~ Komunikatif ~

Bagaimana Memahami Hadis Nabi Melalui Kajian Hadis Tematik?


Dilihat dari proses transmisinya, hadis Nabi secara umum diriwayatkan secara perorangan. Dalam sejarah Islam ditemukan data adanya upaya pemalsuan yang dilakukan oleh sebagian oknum dengan ragam kepentingan, seperti mencari popularitas, keuntungan finansial, mendukung mazhab dan sebagainya. Fakta ini berbeda dengan al-Qur’an yang eksis dengan proses transmisi yang mutawatir sehingga tidak membuka ruang adanya pemalsuan meskipun dari aspek penafsiran tidak menutup kemungkinan adanya kepentingan.

Selain itu, keberadaan sebagian besar hadis Nabi yang diriwayatkan secara makna dan berimplikasi pada munculnya ragam redaksi meskipun dalam tema yang sama. Dalam konteks tertenu bahkan dijumpai hadis dalam tema yang sama terkesan saling kontradiktif. Selain itu, mengingat hadis merupakan bagian dari sejarah dan lekat dengan aspek sosial-humaniora, varifikasi kebenarannya tidak bisa disamakan dengan keimuan-keilmuan yang bersifat pasti.

Memahami Hadis Nabi: Bagaimana Memulainya?

Perbagai persoalan di atas, disadari dengan baik oleh para pakar di masa lalu. Hadis Nabi yang memuat dua aspek utama: sanad dan matan mendapatkan perhatian lebih dari mereka. Bukti konkrit dari perhatian tersebut, lahir ragam keilmuan hadis, seperti ilmu takhrīj, ilmu al-jarḥu wa al-ta‘dīl, dan lain-lain yang biasanya digunakan untuk mengkaji aspek sanad; ilmu al-nāsīkh wa al-mansūkh, ilmu mukhtalif al-ḥadīṡ, dan sebagainya yang biasa digunakan untuk mengkaji matan hadis.

Berbagai keilmuan tersebut pada gilirannya menjadi kaidah-kaidah khusus yang harus diperhatikan dalam keseluruhan proses kajian hadis, tanpa terkecuali kajian hadis tematik. Kaidah-kaidah tersebut antara lain berkaitan dengan kandungan dan validitas hadis; berkorelasi dengan aspek kebahasaan serta kaidah yang berkorelasi dengan konteks kemunculan hadis di masa lalu; dan lain-lain.

Kaitannya dengan pemahaman terhadap kandungan hadis, kaidah umum yang dikenal luas adalah ia tidak bertentangan dengan pesan utama dan nilai inti al-Qur’an. Hal ini karena sejak awal posisi hadis yang berada di bawah al-Qur’an sehingga dalam memahaminya harus berada di bawah pesan utama al-Qur’an. Sedangkan kaitannya dengan validitas, selain harus terverifikasi sebagai hadis sahih dari segi aspek sanad, juga harus terkonfimasi sahih dari aspek matan.

Kesahihan matan hadis juga harus terkonfimasi tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadis lain yang lebih kuat, fakta sejarah, hakikat ilmiah dan akal sehat. Namun, dalam memastikan sesuai atau tidak sesuai dengan al-Qur’an dan seterusnya butuh kajian yang mendalam. Tidak bisa dilakukan berdasarkan asumsi dan simpulan yang dangkal. Tidak menutupkemungkinan terdapat hadis Nabi yang disinyalir bertentangan, padahal yang terjadi sebenarnya adalah kesalahpahaman pengkaji, minimnya literatur atau ketidakmampuan pengkaji dalam menerapkan metode pemaduan atau al-jam‘u wa al-taufīq.

Memahami Hadis, Memahami Komunikasi (Bahasa Arab) Masa Lalu

Kaidah yang berkorelasi dengan aspek kebahasaan dalam hadis Nabi meliputi ungkapan-ungkapan padat-sarat makna atau jawāmi‘ al-kalim, perumpamaan, bahasa simbolik, bahasa dialog, ungkapan analogi, dan sebagainya. Kepekaan terhadap perbedaan narasi dan diksi kata yang Nabi pilih harus dimiliki oleh pengkaji hadis tematik. Satu aspek saja, misalnya, ungkapan perumpamaan, melahirkan perbedaan pemhaman di kalangan para ahli.

Keberadaan teks hadis, layaknya teks pada umumnya, memang membuka ruang untuk dipahami secara berbeda. Satu kata saja bisa memunculkan berbagai makna; satu makna pun bisa mengalami pergeseran dalam rentang waktu yang berbeda dan dari jarak geografis yang berbeda pula. Dalam bahasa yang lebih sederhana bisa dikatakan: bahasa merupakan produk sejarah dan hasil kesepakatan suatu budaya.

Bahasa Arab yang eksis di masa lalu, tidak cukup bisa dipahami menggunakan perspektif kamus-kamus yang lahir di masa kini karena perbedaan budaya dan geografi. Untuk mendapatkan pemahaman yang yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, pengkaji harus memahami dengan baik kebahasaaan yang eksis pada masa Nabi serta memahami dengan baik realitas bangsa Arab kala itu.

Lebih dari itu, mengingat teks hadis muncul di masa lalu, maka bahasa Arab yang dimaksudkan tidak cukup hanya mengandalkan kamus-kamus yang berisi kosa kata modern tetapi harus merujuk pada karya syarah hadis, termasuk literatur-literatur khusus yang berisi penjelasan kata-kata “asing” atau garīb dalam hadis Nabi. Jika pun merujuk pada kamus, seyogianya relevan untuk keperluan tersebut.

Memahami Hadis, Memahami Konteks dan Sejarah Masa Lalu

Metode lain yang relevan untuk memahami konsep atau kata dalam sebuah hadis sesuai dengan masa kondisi dan situasi saat itu adalah dengan dengan melihat hadis yang lain–ini salah satu tujuan dari kajian hadis tematik; melacak pemahaman hadis para sahabat terkait hal tersebut–karena bagaimana pun, mereka adalah generasi yang hidup dengan Nabi sehingga bisa diasumsikan bahwa mereka pula yang paling paham terkait setiap kata dibandingkan generasi setelahnya.

Kaidah lain yang identik dengan kajian hadis tematik adalah kaidah yang berkorelasi dengan konteks, baik konteks masa lalu maupun konteks masa kini. Konteks masa lalu berarti asbāb al-wurūd. Sedangkan konteks masa kini berarti konteks yang sejalan dengan era kontemporer. Dalam terminologi para ahli, secara sederhana asbāb al-wurūd disebut sebagai sebab-sebab khusus yang mengiringi lahirnya hadis Nabi.

Sebab-sebab khusus tersebut adakalanya berbentuk pertanyaan dari sahabat atau sebuah peristiwa tertentu yang memotivasi Nabi untuk memberikan penjelasan. Asbāb al-wurūd jenis ini biasa disebut sebagai asbāb al-wurūd mikro dan bisa dilacak dalam literatur-literatur khusus tentang asbāb al-wurūd. Asbāb al-wurūd jenis lainnya disebut disebut sebagai asbāb al-wurūd makro; yakni kondisi sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang memotivasi Nabi menyampaikan ajarannya. Melacak asbāb al-wurūd jenis ini lebih sulit dan butuh kejelian karena literatur yang dirujuk cenderung bervariasi dan multi disiplin keilmuan, meliputi literatur sejarah, politik, sosial, dan kondisi lainnya yang mengitari masyarakat Arab saat Nabi masih hidup.

Dari Masa Lalu ke Masa Kini

Dengan memahami latarbelakang ini, pengkaji tidak hanya bisa memahami teks hadisnya melainkan bisa mengambil poin utama atau kanndungan inti dari sebuah hadis hingga bisa dikontekstualisasikan dengan kondisi terkini. Dengan demikian, pengkaji hadis tidak perlu terjebak pada perbedaan fikih yang abad klasik dan pertengahan yang tidak kunjung usai.

Sedangkan kaidah hadis tematik yang terkait dengan konteks masa kini adalah bagaimana hadis Nabi, melalui kajian tematik, mampu berkontribusi pada era kontemporer ini. Kaidah ini fokus pada output kajian. Kaidah ini pula akan mendorong para pengkaji hadis tematik untuk lebih peka pada situasi dan kondisi di sekitarnya. Kepekaan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah kajian yang realistik-futuristik yaitu berorientasi pada kemaslahatan umum sesuai dengan prinsip-prinsip maqāṣid al-ḥadīs atau al-maqāṣid al-nabawiyyah.

Namun, demikian, maqāṣid al-ḥadīṡ atau al-maqāṣid al-nabawiyyah tidak bisa dipahami dengan baik jika tidak mengetahui secara seksama bagaimana konteks masa lalu lahirnya hadis tersebut. Jadi, kaidah kesadaran konteks masa lalu dan masa kini harus eksis secara proporsional agar tidak terjebak dalam kunkungan teks yang seakan tidak punya ruh dan tidak tejebak pada keliaran teks yang seakan lepas sama sekali dari konteks kesejarahannya.

Selengkapnya, lihat buku Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, terbitan Maknawi Press, 2021.

0 comments:

Posting Komentar