Belakangan, istilah hijab syari menggema. Pasar-pasar tradisional, outlet-outlet di sudut perkotaan, toko-toko busana di tengah keramaian bahkan lapak-lapak online satu padu ambil bagian memopulerkan istilah ini ke khalayak, misalnya, “Pakaian Syari,” “Jilbab Syari,” “Kerudung Syari.” Bisa ditebak kira-kira apa yang dimaksud dengan ungkapan “Syari.”

Tidak jauh dari cadar, jilbab panjang, kerudung lebar, baju besar dan sejenisnya. Karena sudah menjadi bagian dari “pasar,” mau tidak mau harus disesuaikan dengan selera pembeli. Mulai dari model yang kekinian, fashionable hingga stylish.

Terlalu banyak kajian yang digunakan untuk melihat fenomena ini. Dari itu, kita perlu melihatnya dari sudut yang berbeda.

Kain Sehelai dan Imagologi Keber[islam]an

Hijab syari dengan semua model dan bentuknya semakin memiliki akar kuat seiring merebaknya tren hijrah. Tentu saja hijrah dengan pengertian yang spesifik seperti yang biasa dan bisa kita saksikan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun di televisi-televisi. Ya, tidak jauh-jauh dari seputar penampilan. Yang awalnya tidak pakai kerudung, tiba-tiba mengenakan kerudung. Awalnya sudah pakai kerudung biasa, kerudungnya jadi lebar ditambah dengan cadar. Sebelumnya mengenakan busana sampai mata kaki, sekarang sampai menutupi seluruh kaki dan masih ditambah kaus kaki.

Hijrah ini pun semakin familiar setelah banyak artis papan atas yang memutuskan hijrah dengan pola seperti di atas.

Kembali pada persoalan kain sehelai, hijab syari. Merebaknya tren ini di tengah-tengah masyarakat kita telah menciptakan sejenis kesalehan imagologis. Tidak tanggung-tanggung, berhijab bahkan diasosiasikan sampai pada level: berislam secara kaffah.

Imagologi hampir mirip dengan pencitraan. Bedanya, yang ditampilkan untuk kepentingan pencitraan bisa sama sekali palsu dan jauh dari kenyataan. Dalam konteks imagologi, Islam secara normatif pasti benar; hijab pun diyakini sebagian bagian dari Islam. Hanya saja, apa yang ditampilkan ke publik tentang Islam melalui sehelai kain hijab sudah membentuk pola pikir orang lain bahwa itulah Islam. Setiap kali ada orang mengenakan hijab, jilbab, cadar, busana lebar, yang pertama kali terbesit tidak jauh dari bahwa yang mengenakan musti muslim.

Hijab ditampilkan ke permukaan seakan mewakili keseluruhan inti ajaran Islam. Meskipun sejatinya ia bukan satu-satunya barometer kesempurnaan Islam seseorang.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan mengenakan sehelai kain untuk identitas keberislaman. Pun demikian tidak salah mengenal umat Islam dengan sehelai kain itu. Namun, disadari atau tidak, fenomena ini melahirkan sejenis pendangkalan akan nilai-nilai Islam yang sebenarnya dalam. Pada akhirnya dapat mencitrakan Islam sebatas bagian yang atributis. Kulit luar. Tidak lebih.

Karena Berislam tidak Cukup dengan Hanya Kain Sehelai

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada suatu kesempatan Rasulullah Saw. bertanya pada para sahabatnya, “Kalian tahu siapa muslim sejati itu?”
Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.”
Beliau menjelaskan, “Yaitu seseorang yang mampu menyelamatkan muslim yang lain dari gangguan lisan dan tangannya.”

Kembali beliau bertanya, “Kalian tahu siapa mukmim sejati itu?”

Para sahabat masih memberikan jawaban yang sama, “Allah dan Rasul-Nya yang pasti tahu.”

Beliau menjelaskan, “Yaitu orang mampu membuat orang mukmin lain merasa aman, baik diri maupun hartanya. Sedangkan orang yang hijrah adalah yang meninggalkan keburukan dan menjauhinya.” [HR. Ahmad].

Riwayat lain menegaskan, Rasulullah Saw. “Demi Allah tidak beriman!” beliau menyampaikan kalimat tersebut sampai tiga kali.

Para sahabat pun bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”

Beliau menjelaskan, “Orang yang tidak memberikan rasa aman pada tetangganya dari gangguan-gangguannya.” [HR. Bukhari, Ahmad, Baihaqi dan lain-lain].

Dalam banyak riwayat juga disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang di antara kalian tidak disebut beriman secara sempurna sehingga dia mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai hal tersebut untuk dirinya sendiri. [HR. Bukhari, Ibnu Majah, Tirmidzi dan lain-lain].” Demikian pula sabda Nabi yang berbunyi, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berkata-kata baik atau hendaknya dia diam saja. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka dia tidak boleh menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah].

Beberapa hadis di atas menunjukkan pesan penting menjadi muslim yang sebenarnya. Dalam konteks bermasyarakat, sama sekali tidak cukup hanya dengan kain sehelai. Itu saja.

Berbicara tentang Islam, tentu cakupannya luas. Sebagian ajaran Islam berhubungan dengan ketuhanan yakni bagaimana menjadi hamba yang baik, proporsional memosisikan diri sebagai makhluk, tepat secara teologis-spiritual; sebagian berhubungan dengan kemanusiaan yakni bagaimana memperlakukan sesama hamba, bagaimana menjadi pribadi yang baik di tengah-tengah masyarakat luas dan seterusnya dan sebagian berhubungan dengan alam seperti menjaga ekosistem, kebersihan, tidak merusak lingkungan dan lain-lain.

Masing-masing bagian ini melahirkan banyak poin penting dan luas. Semuanya harus diterapkan secara seimbang. Tidak bisa hanya fokus pada satu bagian dan mengabaikan bagian yang lain.

Keluasan ajaran Islam bisa dilihat dari ragam keilmuan yang dirumuskan oleh para ulama sampai detik ini; ilmu kalam, ilmu fikih, ilmu tasawuf, ilmu hadis, ilmu al-Quran dan seterusnya. Setiap bidang keilmuan melahirkan pembahasan tersendiri. Masing-masing pembahasan juga melahirkan berbagai tema kajian. Begitu seterusnya. Intinya, sehelai kain hanya bagian kecil yang dibahas dalam beragam keilmuan itu bahkan sama sekali tidak belum ditemukan pembahasan spesifik bahwa sehelai kain mampu merepresentasikan jati diri Islam yang sebenarnya luas dan lintas dimensi.

Artikel ini sudah dipublikasikan pada islamsantun.org.